Gara-gara Pisang Ambon


Pagi itu sekitar pukul delapan, kami (saya, suami, dan si sulung) sudah berada di ruang tunggu poli anak, di Chiba Dai Byouin. Poli anak yang berada satu lantai di atas poli sanfujinka (poli obstetri dan ginekologi), pagi itu sudah ramai dikunjungi pasien bayi dan anak-anak. 
Kami datang untuk memeriksakan si sulung yang hari itu sedang diare. Sudah empat hari belum sembuh. Penyebabnya karena pisang ambon. Hah, kenapa dengan pisang ambon?
Kejadiannya begini, saat si sulung menginjak usia empat bulan, saya sudah tidak sabar ingin segera memberinya makan. Dengan pemikiran kolot, ala sesepuh zaman dulu, saat bayi menginjak usia empat bulan, sudah boleh diberi makan pisang. Nah, tanpa menggubris anjuran dokter anak serta beberapa catatan yang diberikan dari rumah sakit sepulang melahirkan, saya nekad. Saya beri si sulung pisang. Mungkin karena rasanya enak, si sulung ketagihan. Habislah satu pisang ambon yang berukuran besar. Hahaha... Lalu, apa yang terjadi? Perbuatan nekad saya itu berbuah fatal. Besoknya si sulung kena diare. Sehari bisa sepuluh sampai dua belas kali buang air besar. Aku dan suami panik, lalu memutuskan untuk membawanya ke dokter anak.
Di ruang tunggu saya duduk sambil menggendong si sulung. Tiba-tiba datang seorang nenek dengan anak perempuan kecil, kira-kira usianya tiga tahun. Lalu duduk di samping saya. Si anak langsung bermain di tempat main anak yang disediakan oleh rumah sakit. Ia mengenakan pakaian musim dingin khas anak-anak Jepang, rok lengan panjang berwana pink, dipadu stocking panjang berwarna putih. Sesekali anak itu datang menghampiri sang nenek. Sambil sesekali berucap sesuatu. Sang nenek tak banyak berkomentar, hanya sepatah dua patah kata. Lalu, anak itu kembali bermain.
Usai anak itu pergi, si nenek memandangi si sulung sambil senyum-senyum simpul. 
“Kawaii... (lucu) Onna no ko, oto ko no ko (laki atau perempuan)?” tanya nenek itu.
Oto ko no ko,” jawab saya sambil balas tersenyum.
Sudah menjadi tradisi para nenek atau ibu-ibu di Jepang, jika ada hal yang menarik perhatiannya, mereka tak sungkan-sungkan menyapa. Dan seringkali berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan. 
“Sakit apa?” tanyanya lagi.
“Sakit diare.”
“Oh, mungkin cuaca terlalu dingin ya, bayinya jadi sakit."
“Bukan karena cuaca, tapi karena salah makan,” kata suami.
“He! Sudah diberi makan? Usianya berapa? Diberi makan apa?” tanya si nenek bertubi-tubi.
Saya dan suami saling lirik. "Pisang," jawab saya.
“Oh, empat bulan?” wajah si nenek kaget. “Empat bulan belum saatnya diberi makan. Pencernaan anak usia itu belum siap,” sambungnya lagi. “Nanti usia enam bulan baru boleh makan.”
Saya tersenyum dan malu. Hehehe...
Beberapa tahun ke belakang, memang sudah beredar anjuran cara memberi makanan tambahan untuk bayi. Sebaiknya dimulai setelah usia bayi lima atau enam bulan. Tujuannya selain memaksimalkan asupan ASI juga pada usia itu pencernaan bayi sudah lebih kuat dan siap menerima asupan makanan tambahan. Namun, dasarnya memang saat itu saya sudah tidak sabar ingin segera memberi makan si sulung. Jadilah keteledoran ini berbuah petaka. Kalau sudah begini, sebenarnya siapa yang salah? Pisang ambon atau saya? Hahaha...

 Just Sharing
19 April 2013



[1] Labu kuning Jepang yang kulitnya berwarna hijau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

aneka warna>>>>>>aneka warna>>>>>aneka warna>>>>>>aneka warna>>>>>aneka warna